Cirebon, buletinnusantara – Pengurus Besar Nadhlatul () menilai, keputusan Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal/) di Den Haag tentang pelanggaran HAM di pada 1965 tidak perlu disikapi berbagai pihak dengan mengungkap kebenaran.

Sebab, menurut Ketua Bidang Hukum, Perundang-undangan dan HAM PBNU Emhas, rekonsiliasi secara alamiah yang sudah terjadi jauh lebih baik dilakukan berbagai pihak yang terlibat peristiwa 1965.

“Justru kalau kemudian ada upaya mengungkap kebenaran akan terjadi klaim maka bisa mengoyak rasa kedamaian, ketentraman, Kalau kemudian rasa kedamaian itu terkoyak maka tentu saja rasa keadilan masyarakat juga bisa terkoyak,” kata Robikin, di sela mengikuti Pleno PBNU, Kempek, Cirebon, Minggu (24/7/2016)

Dikatakan Robikin, dalam kaidah kedudukan tertinggi dalam hubungan manusia ketika terjadi peristiwa tertentu maka bukan hanya memaafkan tapi juga sekaligus harus dilupakan.

“Kalau kemudian orang tidak melupakan peristiwa yang dialami saya kira sulit sekali orang bisa mengikhlaskan apa yang terjadi, maka tidak tercapailah subtansi dari -memaafkan itu, jadi selesai sampai disitu,” terangnya.

Terlebih, sambungnya, PBNU tidak melihat hal itu serius. Sebab IPT bukan pengadilan resmi yang didirikan berbagai negara, tapi merupakan pengadilan partikelir.

“Karena bersifat partikelir itu putusannya tidak memiliki kekuatan mengikat kepada negara dan pihak lain. Sehingga Indonesia juga tidak terikat pula, tidak ada konsekuensi hukum apa-apa terkait putusan itu,” tandasnya.