Hadiri Pertemuan Antaragama di Vatikan, Gus Yahya: Agama Harus Jadi Landasan Memecahkan

 

JAKARTA – KH Yahya Cholil Staquf dijadwalkan hadir sebagai pembicara dalam Pertemuan Tingkat Tinggi Agama-agama Ibrahim di Vatikan, Selasa-Jumat (14-17/1/2020). Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu adalah salah satu dari enam tokoh wakil dunia Islam yang diundang untuk memberikan kontribusi pemikiran tentang gerakan bersama untuk perdamaian dunia.

“Sebenarnya, ini undangan kedua ke Vatikan sejak saya bertemu Paus bulan September tahun lalu. Bulan Oktober tahun lalu saya juga diundang ke Vatikan untuk mengikuti konvensi tentang euthanasia, tapi saya berhalangan hadir karena terikat tugas di tanah air. Kali ini saya harus hadir karena agendanya luar biasa penting,” kata Gus Yahya, sapaan akrab Katib Aam PBNU ini, Senin (13/1).

Menurut Gus Yahya, pertemuan kali ini diinisiasi oleh “Multi-Faith Neighbours Network” (Jaringan Tetangga Antaragama), yakni sebuah organisasi Amerika yang diawaki oleh Imam Mohamed Magid, yang merupakan Imam Eksekutif All Dulles Area Muslim Society (ADAMS) Center (Pusat Komunitas Muslim Wilayah Dulles) di Sterling, Virginia, AS. Selain itu, ada Pastor Bob Roberts, pendiri Gereja Northwood di Keller, Texas, AS; dan Rabbi David Saperstein, Presiden World Union for Progressive Judaism (Perserikatan Yahudi Progresif Seluruh Dunia).

“Tokoh-tokoh dari tiga agama Ibrahim (Islam, Kristen, dan Yahudi) akan bertemu dan bermusyawarah mulai Selasa, 14 Januari 2020, sampai dengan Jumat, 17 Januari 2020, untuk membangun gerakan bersama bagi perdamaian,” ujar Gus Yahya, yang juga Duta Gerakan Pemuda Ansor untuk Dunia Islam.

Disebutkan, masing-masing agama akan diwakili enam orang tokoh. Dari kalangan Islam, selain KH Yahya Cholil Staquf, akan hadir Syaikh Abdul Karim Khasawneh, Grand Mufti Yordania; Syaikh Abdullah Bin Bayah dari Dewan Fatwa Uni Emirat Arab; Sayyed Yousif Al Khoei, Direktur Pusat Studi Akademik Syiah di Inggris; Imam Hassan Qazwini dari Institut Islam Amerika di Michigan; dan Dr Ingrid Mattson, profesor dari University of Western Ontario, Kanada.

Sedangkan kalangan Kristen, lanjut Gus Yahya, diwakili antara lain Kardinal Miguel Angel Ayuso Guixot, Presiden Pontifical Council for Interreligious Dialogue (Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama) dan Prof Dr Thomas K. Johnson, Duta Besar World Evangelical Alliance untuk Vatikan dan untuk Humanitarian Islam. Sedangkan Kalangan Yahudi diwakili Chief Rabbi David Rosen, Direktur Internasional untuk Masalah-masalah Agama dari American Jewish Committee beserta sejumlah Rabbi senior dari Amerika, Italia, dan lain-lain.

Penyelenggara menyatakan bahwa partisipasi Gus Yahya dalam Pertemuan Tingkat Tinggi ini mutlak diperlukan. Dalam surat undangannya kepada Gus Yahya, Pastor Bob Roberts atas nama Multi-Faith Neighbours Network mengatakan, “Your global leadership of humanitarian, compassionate Islam and your commitment to practical action would greatly enrich the AFI and its global implementation and impact.” (Kepemimpinan Anda yang mendunia dalam Humanitarian Islam dan kegigihan Anda untuk mewujudkan tindakan-tindakan nyata akan sangat memperkaya Abrahamic Faiths Initiative serta implementasi dan dampak globalnya).

Bahkan Pemerintah Amerika Serikat yang ikut mendukung inisiatif ini merasa perlu untuk meminta secara langsung kehadiran Gus Yahya. Samuel D. Brownback, Duta Besar Keliling Amerika Serikat untuk Kebebasan Beragama, mengirim surat pribadi kepada Gus Yahya dan mengatakan, “It is my greatest hope that you will be able to join us to discuss our faiths as a means for peace. The work that we will do is only possible with your presence.” (Adalah harapan terbesar saya bahwa Anda dapat bergabung dengan kami untuk mendiskusikan agama-agama kita sebagai landasan menuju perdamaian. Upaya yang akan kami lakukan hanya mungkin terwujud dengan kehadiran Anda).

Gus Yahya sendiri akan membawa wawasan-wawasan tentang Cita-cita Peradaban Mulia yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, beserta rencana-rencana strategis yang telah dibangun di lingkungan Nahdlatul Ulama, seperti “Deklarasi Nahdlatul Ulama ISOMIL, 2016”; “Deklarasi Global Unity Forum I GP Ansor, 2016”; “Deklarasi GP Ansor Tentang Humanitarian Islam, 2017”; “Manifesto Nusantara GP Ansor, 2018”; dan Hasil-hasil Musyawarah Nasional Alim-Ulama Nahdlatul Ulama di Kota Banjar, Jawa Barat 2019.

“Dialog Antaragama tidak boleh lagi hanya berhenti dengan bertukar kata-kata manis dari kutipan-kutipan Kitab Suci dan pernyataan tokoh-tokoh suci. Sudah terlalu lama umat manusia menunggu para tokoh agama bicara sejujur-jujurnya tentang masalah-masalah yang nyata-nyata sedang menimpa umat manusia dewasa ini, termasuk permusuhan dan konflik yang bengis di antara kelompok-kelompok berbeda agama,” tandas mantan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini.

Gus Yahya menjelaskan, pada hakikatnya agama diturunkan sebagai anugerah Tuhan untuk menolong umat manusia dalam mencari jalan keluar dari masalah-masalah mereka. Namun, lanjut dia, karena kelemahan dalam sifat dasar manusia, agama dalam perjalanan sejarahnya kemudian direduksi oleh para pemeluknya menjadi sekadar identitas kelompok dan dijadikan alasan untuk bersaing dan bertarung melawan kelompok yang dianggap berbeda identitasnya.

“Pada titik itulah, agama menjadi sumber konflik. Sebab itu, kita harus memerdekakan agama dari jerat posisi sebagai sumber masalah dan mengembalikannya kepada tujuan hakiki sebagai landasan untuk memecahkan masalah,” pungkas Gus Yahya. (*)

Baca Juga
Komentar
Loading...