Reshuffle Kabinet Jadi Isu Terhangat di Rapat Pleno PBNU

Cirebon – Isu reshuffle kabinet pemerintahan Jokowi juga menjadi kabar terhangat saat perhelatan Rapat Pleno Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Beberapa pos kementerian dirasa perlu dicopot oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Menurut Aktivis Muda PBNU, Ahmad Erani Yustika, untuk mengubah sistem perekonomian yang saat ini masih liberal dan pro asing, pemerintah terutama Presiden harus berani menata menteri-menteri di pos perekonomian agar memiliki keberpihakan terhadap ekonomi kerakyatan, bukan ke asing.

“Sebab kalau tidak (dilakukan reshuffle), hanya akan melanggengkan kebijakan yang liberal seperti selama ini yang sudah dijalankan,” sebut Erani di sela acara Rapat Pleno PBNU di Ponpes Kempek, Cirebon, Senin (25/7/2016).

Menurutnya, selama ini menteri-menteri yang ada di pos perekonomian belum tepat. Tapi peluang untuk memperbaikinya masih ada, selama Presomiden mau melakukan perubahan atau reshuffle.

“Saya berharap beberapa pos (ekonomi) yang vital harus diganti. Karena stok (SDM) ada, tinggal seberapa jauh Presiden memiliki keyakinan terkait figur itu agar punya komitmen sama dengan Presiden,” urai Erani.

Ketika dikonfirmasi, pos kementerian mana yang paling layak di-reshuffle? Erani menyebut, Kementrian PPN/Bappenas yang paling awal harus dicopt. Pasalnya, posisinya sangat vital.

“Selanjutnya, pos yang vital lainnya dan perlu di-reshuffle, adalah Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian BUMN, dan Kementerian ESDM. Sehingga ideologinya harus sama seperti kemauan Presiden,” saran Erani.

Apalagi memang, di mata dia, sejauh ini di pos kementerian ekonomi belum ada radikalisasi kebijakan. Bahkan, paket kebijakan yang diterbitkan  pemerintah pun dirasa belum radikal. Sehingga tidak  menjadi solusi secara mendasar.

Dia mencontohkan terkait praktik perbankan yang belum berpihak kepada sektor mikro. Sehingga kucuran kredit untuk sektor kerakyatan pun tak lebih dari 20 persen. Padahal di negara tetangga seperti Malaysia, laju kreditnya sudah mencapai  35 persen.

Pun demikian di pasar modal, di mana investornya masih didominasi asing sebanyak 60 persen.

Sementara terkait penanaman modal asing (foreign direct investment/FDI), nyatanya tidak menjadi solusi menyejahterakan rakyat Indonesia, terutama yang si pedesaan.

“Yang ada hanya menguras SDA (sumber daya alam) kita. Cuma sayanya pemerintah masih getol menarik investor asing,” cetus dia.

Untuk itu, NU harus mengambil peran penting dalam konteks ini. Salah satunya, kembangkan sistem ekonomi yang terikat dalam jamaah. “Selama ini, mereka melakukan ekonomi tidak terikat dalam satu jamaah yang kuat. Sehingga hanya sebagai predator, pelaku ekonomi saling memangsa dan saling mematikan. Berbeda kalau dalam satu jamaah,” pungkas profesor ekonomi dari Universitas Brawijaya ini.

Baca Juga
Komentar
Loading...